Beginilah Nasip Aceh Setelah Perjanjian Damai
Jangan serahkan senjata awak sebelum segala sesuatuya terang. Implikasinya menyedihkan.
Pasukan-ishak-daud
"Don't Lay Down Your Biceps and triceps, Aceh Edition. " Gak usah serahkan senjata Kalian...! Begitulah Jason Sorens memberi judul tulisannya yang dipublikasikan kebelakang, 21 Agustus 2014. Jer adalah peneliti dari Dartmouth College: perguruan tinggi swasta di Hanover, New Hampshire, Amerika Serikat. Ia anyar saja menyelesaikan penelitian terhadap federasi dan desentralisasi dalam negara berkembang. Salah 1 perhatiannya adalah kasus Aceh.
Pasukan GAM adalah sejarah aceh
Judul itu terasa menarik, jika tak mau dianggap ekstrem. Dari sudut pandang pemerintah Indonesia, barangkali mengenai disematkan label provokatif. Trik tidak, ia menyimpulkan, walaupun\ Aceh berstatus otonomi istimewa sejak perjanjian damai diteken pada 15 Agustus 2004, namun nyatanya, hingga sekarang hak-hak Aceh sebagai kota otonom masih ditahan-tahan dengan Pemerintah Pusat. Padahal, damai memasuki tahun ke 10. Yang paling kasat mata: meski MoU Helsinki menyebut Aceh berhak mendapat 70% dari hasil kekayaan alamnya, nyatanya hingga sekarang pusat masih tawar-menawar reguest bagi hasil 50: 40.
"Aceh bahkan tidak mempunyai hak menikmati pajak sendiri. Indonesia berarti otonomi Aceh dalam lebih sedikit dari, katakanlah, apa yang dinikmati dengan Rhode Island. Satu-satunya yang dinikmati Aceh adalah hak membentuk partai lokal.
"Secara sepihak pemerintah Indonesia telah mengkhianati Rakyat Aceh dan mantan pejuang GAM dalam situasi kebijakan ekonomi disertai ancaman eksplisit: yaitu terima (aturan kami), atau kami ambil balik.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? " Biasa: pemberontak turun dari gunung dan menyerahkan semua senjata mereka sebelum undang-undang otonomi diselesaikan. Bahkan, GAM tak dapat melakukan apapun untuk membalas pengkhiatan pemerintah.
Jika merunut dalam proses perjanjian damai yang benar. Usai MoU Helsinki diteken maka baru berlanjut dengan penyerahan senjata GAM dan withdraw tentara Indonesia yang diaplikasikan bertahap. Setelah itu maka barulah Undang-Undang Pemerintahan Aceh digodok. Ini pun tak sebaik-baiknya sama dengan MoU Helsinki. Ada debat panjang sebelum akhirnya UUPA disahkan dalam parlemen.
Maka artikel Jerr ditutup dengan satu nasehat bagi para pemberontak dalam seluruh dunia: jangan serahkan senjata anda sebelum seluruh sesuatuya jelas. Implikasinya menyedihkan!
Dua tahun terakhir di sini, ketika para pimpinan GAM duduk di puncak Pemerintahan Aceh, kita menyaksikan sendiri apa yang disebut Jerr menyedihkan itu. Lihatlah, trik Gubernur Aceh Zaini Abdullah dengan nada putus manubrio berkata dalam sebuah discussion board di Jakarta, awal bulan ini, "damai telah di sepakati, mimpi memerdekakan Aceh sudah kami lupakan dan Senjata GAM sudah kita potong bersama-sama. Apalagi yang hendak kami korbankan supaya turunan UUPA dapat dikeluarkan?
Kalimat itu tentu bukan lahir dari ruang hampa. Sudah berkali-kali tim Pemerintah Aceh bolak-balik ke Jakarta untuk menuntut haknya sebagai yang dijanjikan ketika Aceh menerima Otonomi Khusus. Padahal, semasa perjanjian itu diteken, yang dibayangkan adalah Aceh memiliki pemerintahan sendiri, self goverment, serupa daerah otonom yang lain di dunia. Katakanlah misalnya Macau atau Hongkong pada China. Nyatanya, hingga sekarang persoalan bendera saja tidak kunjung usai. Ini kaga lagi kita bicara butir perjanjian lain yang menyebutkan Aceh berhak mengatur sukubunga bank sendiri.
Dan yang menyedihkan lagi adalah ketika Aceh menuntut hak-hak politik di sini., Jakarta membenturkannya dengan isu kesejahteraan Namun seolah-olah Pemerintah Aceh lebih peduli bendera daripada kesejahteraan. Padahal, logika putra kecil pun tahu, hak kesejahteraan itu tersimpan pada bagi hasil 70: 40 persen yang tak kunjung diwujudkan. Tentu, tanpa mengenyampingkan semua pengelolaan dana oleh Pemerintah Aceh yang juga kag fokus arahnya kemana. Namun itu soal lain.
Saat isu bendera memanas tahun lalu, barulah pemerintah induk menggelar pertemuan membahas Aceh. Lalu ketika isu bendera meredup dan pembahasan tentang Aceh kembali menghilang di Jakarta.
Membaca Jason, saya teringat dengan pertemuan pada salahsatu sore dengan delegasi pemerintah Filipina dan pemberontak Bangsamoro sebelum mereka meneken perjanjian damai pada akhir Maret lalu. Pertemuan itu berjalan di sebuah warung kopi di Banda Aceh. Masa itu, mereka datang ke Aceh untuk menelisik apa yang diperoleh Aceh sesudah GAM merelakan senjatanya dipotong-potong.
"Kami ingin mengetahui apa saja persoalan yang nampak di Aceh sebelum kami menandatangani perjanjian damai, kata perwakilan Bagsamoro pada saya sore itu.
Pesan dari kalimat itu benar: mereka tak ingin ditipu setelah perjanjian diteken!
Kindertagesstätte tahu perjanjian damai Aceh diteken dengan tergesa-gesa sesudah bencana tsunami mahadahsyat. Pimpinan GAM, meski awalnya ragu-ragu dan berupaya percaya pada janji Indonesia.
Kita percaya perdamaian adalah langkah tepat. Namun yang paling tepat, semestinya, adalah memastikan perjanjian yang disepakati benar-benar dijalankan.
Kindertagesstätte menghormati Jusuf Kalla sebagai inisiator damai Aceh. Akan tetapi di mata saya, Kalla adalah tukang PHP. Pemberi harapan palsu, kata putra muda sekarang. Satu kalimat Jusuf Kalla yang tena membekas di benak ya, "yang penting, bikin mereka teken dulu, urusan nanti belakangan. "
Kini, 15 tahun berlalu, "urusan nanti belakangan" itu tak kunjung selesai.
Sementara di Aceh, Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang kini berada sebagai Wakil Gubernur Aceh, masih memegang teguh janji damai itu. Yang ya kuatir, jika suatu semasa lelaki pendiam itu kelenyapan kesabarannya.
EmoticonEmoticon