Jumat, 27 Mei 2016

Perppu kekerasan seksual kepada anak ditolak

Kenapa Perppu kekerasan seksual kepada anak ditolak?

Ibu memangku anaknya. Sanksi yang diatur dalam Perppu kekerasan seksual terhadap buah hati dianggap sebagai putusan emosional, reaktif dan diragukan efektivitasnya. 

Seorang ahli medis, cakap hukum pidana dan korban kekerasan seksual, tetap menolak penerapan kebiri kimia dan pukulan mati kepada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap buah hati. Sanksi yang diatur pada peraturan pengganti undang-undang (perppu) kekerasan seksual terhadap buah hati itu dianggap sebagai putusan emosional, reaktif dan diragukan efektivitasnya.

Salah-satu kritikan teringat sanksi tambahan berupa kebiri secara kimia kepada pelaku kejahatan seksual disuarakan oleh pakar neurologi, dokter Ryu Hassan.
Lewati media playerBantuan mass media playerDi luar media player. Tekan enter untuk balik atau tab untuk melanjutkan.
Dia mengatakan pengebirian hasrat seksual tidak akandengan sendirinya menghilangkan kejahatan seksual para pelakunya. namun seandainya dalam secara teoritis, tidak ada hubungannya. Gak ada orang jahat, (kalau) libidonyo turun, kejahatannnya hilang walaupun Tidak ada namun tetap jahat, " begitu kata ahli bedah syaraf, dokter Ryu Hassan kepada wartawan BBC Dalam negri, Heyder Affan,
Reaktif atau solutif? Pertikaian kebiri dan hukum mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak
Presiden mengeluarkan Perppu kekerasan seksual terhadap badputr?

Paedofil bakal diganjar pukulan kebiri

Hukuman dalam Perppu kekerasan seksual pada putra 'reaktif dan bombastis'
Ryu juga mengatakan bahwa seksual 'orang jahat' bukan sebab orientasi seksual atau hasrat seksualnya. Namun "kejahatan tersebut terletak pada pelampiasan bersama hasrat seksualitas itu, inches tandasnya.
Karena itulah, vida tidak yakin sanksi kebiri itu akan berjalan efektif untuk membuat praktik mengenai kejahatan seksual akan berkurang kelak. namun Secara teoritis tidak mengenai efektis sama sekali, inches kata Ryu.

Kode etik kedokteran

Apabila Perppu di sini. nanti disetujui DPR, lalu pihak eksekutor pengebirian bersama pelaku akan diserahkan pada dokter, kata Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly.
Tetapi menurut dokter Ryu Hassan, mengatakan tugas pengebirian itu sangat bertentangan dengan kode etik kedokteran.
"Kode etik kedokteran itu pertama-tama gak usah menyakiti. Kesehatan penderita / pasien itu adalah hukum paling tinggi. Bagi dokter, hukum paling tinggi ialah mengobati, " jelasnya.

Presiden menerbitkan perppu kejahatan seksual kepada anak setelah meledak kemarahan masyarakat menyusul kemunculan fall kejahatan seksual belakangan.
Tetapi demikian, Menteri Hukum kemudian HAM Yassona Laoly mengungkapkan praktik pengebirian kepada pemain mirip praktik hukuman mati pakai suntik yang diberlakukan pada negara-negara tertentu.

"Jadi, saya rasa kalau perintah hukum, ya mereka (dokter) kan pasti tidak sanggup mengelak untuk itu. Tersebut perintah hukum. Semua kindertageseinrichtung patuh hukum, " tandas Yasonna
Sampai Kamis (26/05), DPR belum menerima sebagaiselaku, ala, menurut, resmi Perppu kejahatan seksual terhadap anak-anak, tetapi segenap politisi di DPR sudah menunjukkan isyarat untuk membantu Perppu.

DPR mendukung

Member DPR dari Partai Gerindra yaitu Supratman Andi mengatakan dirinya juga bisa menerima hadirnya sanksi berat kebiri kimia dan hukuman mati yang diatur dalam perppu. Rato meyakini sanksi berat tersebut akan memiliki efek jera kepada masyarakat.
"Itu telah merespons terhadap keinginan masyarakat terhadap kejadian-kejadian (kekerasan seksual terhadap anak-anak) akhir-akhir di sini., " kata Supratman dan Momento juga tidak terlalu mencemaskan sebagian pihak yang menganggap sanksi kebiri itu melanggar HAM. "Karena kebiri tersebut sifatnya tidak permanen, tapi hanya temporer, " tandasnya.

DPR belum menerima secara sah Perppu kejahatan seksual kepada anak-anak, tetapi sejumlah politisi di DPR telah memperlihatkan isyarat untuk mendukung Perppu.
Sanksi kebiri kimia maka hukuman mati memang sebatas diberikan kepada pelaku dengan kesalahan berat. Dan kebiri itu pun nantinya diikutsertakan proses rehabiltasi.
Tetapi pukulan seperti ini tetap ditolak seorang penyintas atau korban kekerasan seksual, Shera Rindra, karena tidak sejalan dengan prinsip HAM.
"Saya sebagai penyintas kekerasan seksual paling kecewa, " katanya pada BBC Indonesia Suara korban
Rato mengatakan kekerasan seksual ialah problem yang sistemik kemudian tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan hukum yang instan.
"Seakan-akan Perppu tersebut dicipta hanya menakuti, bukan bagi menyelesaikan persoalan kekerasan seksual, " jelasnya.
Seharusnya, imbuhnya, pemerintah memperbaiki proses hukum seperti misalnya akses yang mudah dijangkau oleh korban kekerasan seksual.

"Seakan-akan Perppu tersebut dibuat hanya menakuti, bukan untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual, " sebutan Shera Rindra.
"Terus lain penanganan kasus yang bukan memakan waktu lama, selanjutnya aparat hukum yang mempunyai perspektif korban, pelayanan hukum yang ramah pada korban, dan tentunya kebijakan yang memakai kacamata korban.

Dia lain menganalisa: "Perppu ini akhirnya menjadi gambaran besar bahwa nyatanya masyarakat dan pemerintah kindertagesstätte, pola pikirnya penuh kekerasan. Cara berpikirnya adalah menyelesakan kekerasan dengan kekerasan".
"Sama sekali tidak memberi jalan keluar yang panjang, hanya menakuti dan tidak memberi efek jera kepada pelaku kekerasan " sarannya lebih lanjut.
'Menakuti warga'
Penolakan kepada Perppu juga disuarakan akibat organisasi Reformasi Sistem Peradilan dan Pidana MaPPI di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
"Solusi menaikkan ancaman pidana mengafirmasi gagalnya pemerintah untuk menciptakan kawasan aman dan nyaman yang mencegah terjadinya kekerasan seksual, " kata koordinatornya, Anugerah Rizki Akbari dan ketika dihubungi BBC Indonesia, Kamis petang.
"Dengan demikian pemerintah menyeleksi untuk menakut-nakuti warganya dengan ancaman pidana tinggi, inches tandasnya.
Dalam rilisnya, Anugerah dkk menyatakan, kebijakan meluas ancaman pidana selalu oleh karena itu kebijakan populis politisi dalam berbagai negara.

Kemarahan masyarakat terhadap gerakan kekerasan seksual terhadap buah hati yang terjadi belakangan melatari kelahiran perppu.
Sanyang sekali kebijakan tersebut seringkali tidak menjawab dan menyelesaikan akar persoalan terjadinya suatu tindak pidana. inches
Dia mengatakan, efek jera yang selalu didengung-dengungkan sebagai alasan memperberat pidana, tidak lebih dari hanya alasan retoris yang dibangun tanpa data yang benar, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan.
"Pemerintah tidak pernah melancarkan sebuah evaluasi tentang masalah efektivitas pengenaan sanksi pidana dalam UU Perlindungan Anak, " katanya.
Hingga sekarang kini tidak muncul satu pun data yang bisa mengonfirmasi bahwa Philippines sedang darurat kejahatan seksual terhadap anak, tambahnya.


EmoticonEmoticon