Selasa, 10 Januari 2017

Arif Andepa, Sempat Terpuruk Walau Tak Remuk


Seniman kalem itu terus bergumul dengan asap rokok filter asal Uncle Sam. Ia nampak parlente pagi itu. Hingga akhirnya sampai pada satu plot hidupnya. Ia pernah kalah–berkali-kali– walau kemudian bangkit lagi.
 
Bireuen- Drs. Muhammad Arif, alias Arif Andepa, Wakil Ketua DPRK Bireuen periode 2015-2019 dari unsur Partai Nasional Aceh (PNA), terlihat santai dengan baju kemeja batik lengan panjang. Sedianya ia akan menghadiri lepas sambut Sitambo Pilkada Aceh 2017 di halaman Pendopo Bupati Bireuen, Minggu (8/1/2016).

Arif, sebelum terjun ke dunia politik praktis merupakan tenaga pengajar di sekolah PT. Arun. Alumni Penjaskes Universitas Jabal Ghafur itu, juga penggiat seni lukis, puisi, teather dan lain sebagainya.

Sekretaris Partai Aceh DPW Bireuen sejak 2007 itu, pernah memiliki kenangan pahit, ketika ia untuk pertama kali terjun dalam dunia politik praktis. Mengantongi suara sampai 5000 lebih, ia gagal masuk parlemen Bireuen pada pileg 2009. Posisinya sebagai wakil tak cukup untuk menyelamatkan haknya, yang kemudian diberikan kepada orang lain. Ia pun mundur dari parlok yang kala itu menyebut diri amanah MoU Helsinki.

Arif tentu kecewa. Ia kemudian banting stir. Ketika Irwandi tidak lagi sejalan dengan PA, ia menjadi tim pemenangan Irwandi-Muhyan untuk periode 2012-2017. Sebelumnya ia juga ketua tim pemenangan Irwandi-Nazar untuk Bireuen, dan Nurdin-Busmadar.

Kala ia dilirik oleh Amiruddin Idris sebagai wakilnya di pemilukada 2012. Arif sempat menolak karena minim modal. Namun sejarah tetap mencari jalannya sendiri. Akhirnya Ketua ASDeG itupun terjun mendampingi Amiruddin Idris. Mereka nangkring di peringkat dua di bawah Ruslan-Mukhtar Abda.

“Kekalahan itu berdampak besar bagi saya. Saya harus kehilangan rumah dan kendaraan serta menyisakan hutang ratusan juta rupiah,” kenang Arif.

Ia pulang ke rumah sebagai orang yang kalah. Hutang menumpuk, status sosial sudah meninggi yaitu calon wakil bupati. Ia sempat mencari cara. Lelaki kelahiran Peudada pada 1 Mei 1964 itupun memutar otak. Akhirnya satu keputusan diambil. Untuk sementara waktu sang istri akan menekel kebutuhan keluarga di rumah–istrinya PNS– Arif pun melanglang buana sebagai kuli kasar di berbagai proyek pembangunan.

“Prinsipnya adalah, jangan pernah berhenti bergerak ketika kekalahan demi kekalahan memeluk kita. Bila berhenti maka tamatlah semuanya. Jatuh bangun adalah sunnatullah, hukum alam itu. Siapapun akan bersedih, tapi jangan sampai tenggelam,” ujar Arif memberi wejangan.

Kala itu, pasca kekalahan di Pemilukada 2012, jangankan manusia, sepertinya setan pun enggan berteman. Berbulan-bulan hpnya tak ada telepon masuk dari kolega. Ia nyaris sendiri, dilupakan dan dibiarkan ambruk di sudut negeri. Untung saja istrinya selalu memberi motivasi. Sedangkan anak-anaknya–kala itu– tak satupun tahu. Ia mengunci rapat-rapat derita yang dipikul.

Ia pun merantau ke sejumlah kabupaten di Aceh untuk bekerja sebagai kuli. Setahun penuh ia menjadi kuli kasar sebagai pemasang bronjong di berbagai tepian sungai. “Saya tepis semua ego. Arif adalah laki-laki dan pantang baginya menyerah,” katanya.

Dengan dedikasi yang luar biasa, tahun kedua ia diangkat sebagai supervisor lapangan. Kala itu ia sudah bisa menikmati sedikit kemewahan yang sudah lama terenggut dari dirinya. Pun demikian ia tak lantas manja. Di beberapa proyek selain menjadi supervisor lapangan, ia pun melibatkan diri sebagai tim perancang gambar proyek.

Setelah lima tahun berpeluh dalam terik matahari dengan ragam jabatan di proyek pembangunan, Arif pun terpilih sebagai anggota DPRK Bireuen dari PNA. “Sejak 2015 itu semuanya berubah. Saya kembali ke dunia politik. Pelan-pelan semua hutang saya cicil semenjak bekerja sebagai kuli kasar di lapangan,” katanya.

Ada satu hal yang menarik dari ceritera oleh politisi tersebut, yaitu hidup seperti roda. Terkadang di atas, dan pada waktu lainnya berada di bawah. Ketika di atas jangan lupa diri dan saat di bawah jangan putus asa. Hidup harus dipenuhi oleh energi positif, karena untuk bertahanan butuh semangat.

“Ibarat geutangen keundo rante, bek kubah di rumoh. Puta laju-laju rante nyan sampo ditume seutelan drojih lom,” ujarnya.

Arif berterima kasih kepada beberapa orang yang memberikannya bantuan ketika ia memutuskan kembali ke dunia politik. Dirinya pun tak mau melupakan mereka. “Hanjeut tuwoe teuh keu ureung bantu. Geutanyoe harus na the ke untong, karena lam hudep nyoe hanjeut sidroe teuh. Bantuan gob keutanyoe beuna taingat, bek lage si Tongtong Gapu,” imbuhnya memberi wejangan dalam bahasa Aceh.


EmoticonEmoticon