Sabtu, 24 September 2016

PDI-P tidak satu suara mengusung Ahok-Djarot?

Keputusan PDI-P mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam pilkada 2017 diwarnai ketidaksetujuan unsur partai.
Perkembangan ini terjadi ketika PDI-P mulai menyiapkan strategi pemenangan Ahok yang menggandeng Djarot Saiful Hidayat, terutama dalam menjawab kritik lawan politik tentang gaya bicara Ahok yang disebut vulgar dan penggusuran yang dilakukan selama menjabat sebagai gubernur Jakarta.
"Ada beberapa yang belum bisa diselesaikan, misalnya masalah kemacetan, tapi (isu) pendidikan luar biasa, penanganan birokrasi juga mendapat apresiasi tinggi sekali, based on that fact, kekurangan dia, (bicara) kasar, vulgar, itu sesuatu yang kurang substansial karena ini hal yang bisa diperbaiki," kata politikus PDI-P Eva Kusuma Sundari.
Pendekatan Ahok dalam melakukan berbagai penggusuran juga dinilai sebagai suatu "titik kelemahan".
Dia membandingkannya dengan pendekatan Jokowi saat menjadi gubernur Jakarta yang melakukan lima kali penertiban dalam dua tahun, tapi "tak melibatkan unsur TNI atau polisi" sehingga tak mendapat pemberitaan negatif di media.
"Mudah-mudahan di masa mendatang, (Ahok) ini mau ikut saran (PDI-P) sebelum tanda tangan Dasa Prasetya yang memang poin-poinnya meminta dalam menyelenggarakan pemerintahan dan tata kelola itu manusiawi dan pro-wong cilik. Dan itu disepakati (Ahok dan PDI-P) dalam pertemuan kami," ungkap Eva.

Ditentang elemen partai

Keputusan Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri, mengusung Ahok-Djarot ditentang oleh, salah satunya Boy Sadikin, yang memilih keluar dari partai dan bergabung mendukung tim kandidat calon gubernur Sandiaga Uno.
Sebelumnya beberapa politikus PDI-P juga terang-terangan menolak sosok Ahok.
Lalu apakah penolakan terhadap sosok Ahok dari dalam PDI-P ini akan menunjukkan bahwa partai tidak akan satu suara menjalankan perintah Megawati?
Politikus PDI-P dari dapil DKI Jakarta, Masinton Pasaribu, yang pernah terang-terangan menolak Ahok, mengatakan, "Dinamika itu sudah selesai. Penyampaian aspirasi yang didengar oleh kader-kader, suara-suara dari bawah, kemudian disampaikan, kemudian dibahas oleh DPP Partai, dan diambil keputusan."
"Ketika keputusan sudah diambil, tinggal melaksanakan, tidak ada lagi perbedaan, perdebatan. Dan kader-kader PDI-P semua memahami itu, semuanya taat azas," kata Masinton.
Kondisi PDIP yang tidak satu suara dalam pilkada DKI Jakarta dipahami oleh Direktur Lembaga Survei Indonesia Dodi Ambardi.
Dia membandingkannya dengan pilkada Jakarta pada 2012 yang saat itu mengusung pasangan Jokowi-Ahok.

Efek Boy Sadikin

Di masa itu, gabungan mesin partai yang bekerja sampai ke bawah dan citra Jokowi-Ahok sebagai orang biasa dengan kemeja kotak-kotak memberi efek besar pada pemenangan Jokowi-Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
"Bedanya dengan sekarang, PDI-P saat itu tidak terbelah, sekarang PDI-P terbelah. Sebagian gencar mendukung Ahok, sebagian gencar menentang Ahok," kata Dodi.
Tapi seberapa berpengaruh situasi ini dalam upaya memenangkan Ahok?
"Suara yang dibawa oleh PDI-P mungkin ada efeknya, tapi tak sebesar seperti (pilkada DKI Jakarta) 2012. Sejauh ini, kita melihat garis komando Megawati ini biasanya sampai ke bawah diikuti, jadi peluang mereka yang tidak mendukung Ahok untuk menyabot tim sukses itu, saya kira minimal," kata Dodi.
Dia mencontohkan dengan sosok Boy Sadikin yang disebut tokoh berpengaruh PDI-P di tingkat lokal atau Jakarta, namun menurut survei yang dilakukannya, "pendukungnya tidak besar".
"Efek (keluarnya) dia (dari PDI-P) itu terlihat di media, bukan di pemilih. Belum tentu pemilih DKI akan mengikuti Boy Sadikin, lain halnya kalau kalibernya Bu Mega. Jadi kita harus melihat siapa yang meninggalkan Ahok dan apakah dia memang punya pemilih yang banyak," kata Dodi.


EmoticonEmoticon