Akhir-akhir ini ada suasana baru nan menggembirakan yang sedang tumbuh di tengah-tengah bergeliatnya kesadaran Dayah (Dayah tradisional); santri, kaum muda Dayah dalam melihat diri berikut dengan segala nilai-nilai dan kelebihannya yang dapat disumbangkan sekaligus dibutuhkan oleh masyarakat sosial. Suasana baru ini adalah mulai munculnya minat dan hasrat Dayah yang menyala untuk mencari dan menemukan jati diri dan posisi hakikinya sebagai denyut nadi kehidupan masyarakat Aceh dari masa ke masa.
Dayah harus dipandang bukan semata-mata sebagai lembaga pendidikan agama yang sudah ada berabad silam, yang hanya memproduksi ulama, da’i atau guru agama. Ia harus diletakkan sebagai sebuah organ paling penting dalam sejarah sosial Aceh.
Antara tahun 1892-1906 Dayah terpaksa menyingkir jauh dari riuh rendah kehidupan sosial: secara hakiki dan majazi. Tepat saat teori receptie-nya Snouck Hougrounje (teori yang menjadi dasar hukum Belanda agar setiap hukum Islam harus tunduk kepada hukum adat dan sekulerisasi agama) dipaksatancapkan secara massif oleh pemerintah kolonial Belanda ke dalam struktur berfikir masyarakat Dayah dan Aceh pada umumnya.
Dari sini, dimulailah simpul awal terisolasinya Dayah dari pergulatan dan pergumulan nyata dalam melawan setiap bentuk kolonialisme, ketidakadilan, dan terkesan eksklusif terhadap dunia luar. Seakan ingin menegaskan diri sebagai kaum ‘abid, yang menyendiri jauh ke hutan, ke dalam gua, meninggalkan persoalan-persoalan sosial; kemiskinan, ketertinggalan dan ketertindasan yang melanda umat. Seolah semua itu adalah persoalan duniawi yang tidak penting belaka. Yang diistilahkan oleh Muhammad Said sebagai sesuatu yang diinginkan Belanda untuk menghentikan Dayah (sebagai sebuah organisasi pergerakan) menyuntik semangat perlawanan (jihad), sehingga narasi agama hanya sebatas prosesi ritual mencapai klimaksnya.
Kecuali beberapa tokohnya saja, sebagai sebuah organisasi, dalam sejarah modern, Dayah juga absen ketika terjadi gejolak perlawanan sosial terhadap kaum feodal pasca transisi Belanda ke Jepang. Disini kaum agamis hanya diwakili oleh PUSA (Dayah modern). Maka tak heran jika Dayah kerap berbicara ibadah hanya dalam tataran ritual dan abai terhadap ibadah sosial.
Pengembaraan dalam rangka pencarian jati diri ini menemukan jawaban yang agak keliru tatkala pada 2007 Partai Daulat Aceh (PDA) yang diinisiasi oleh beberapa ulama/dayah didirikan pasca MoU Helsinki. Sampai disini PDA yang merepresentasikan diri sebagai Dayah terlihat gamang dan kebingungan ditengah-tengah konstelasi politik kala itu. Keinginan untuk eksis kembali ke dalam kehidupan sosial-politik via jalur partai ini mendapat rintangan yang amat berat ketika tidak adanya kader-kader Dayah yang mumpuni yang siap bertarung di akar rumput dan menyuarakan aspirasi rakyat kecil.
Kita tidak pernah mendengar ada aktivis Dayah yang lantang melawan keserakahan korporasi menyerobot lahan rakyat atau menjadi penyambung lidah korban konflik yang tersunat haknya. Aktivis Dayah nyaris absen di semua ketimpangan sosial yang melanda umat. Semua ini menjadi sebab mengapa hanya satu kursi saja yang berhasil diraup PDA di parlemen, yang kemudian diikuti dengan timbul tenggelamnya partai tersebut.
Atas realitas ini belum terlihat upaya-upaya serius oleh Dayah untuk menemukan dirinya dalam kehidupan sosial. Selain menjadi juru pimpin prosesi ibadah ritual atau guru spritual, kader Dayah tidak pernah muncul membela hak-hak sipil, bungkam dalam menanggapi ketidakadilan dan ketertindasan.
Organisasi yang digawangi oleh alumni-alumni Dayah seperti Rabithah Thaliban Aceh (RTA) misalnya, organisasi terbesar tempat bernaungnya santri, pada awalnya diharapkan dapat mereinkarnasi kader-kader Dayah menjadi manusia-manusia militan dan progresif, yang menjadi penerang dan pembela dalam setiap lini kehidupan, pun ternyata dalam perjalanannya RTA tak ubahnya lembaga paguyuban yang kemunculannya persis saat perayaan maulid belaka atau acara seremonial lainnya. Nyaris tak ada denyut pergerakan apa-apa yang dibawa oleh RTA. RTA hanya terdengar sangar pada namanya belaka, tapi nihil pada praktik aktivitasnya.
Tampaknya terhadap semua kesalahan dan “dosa” sosial ini, Tu Bulqaini sebagai salah satu kader Dayah seperti belum bisa mengambil pelajaran untuk mengembalikan Dayah bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama semata. Narasi Ahlus sunnah wal jamaah (aswaja) yang coba dibangunnya dalam episode pilkada kali ini tak dapat dipungkiri telah nyaris mempersatukan semua gugusan-gugusan Dayah-dayah terbesar Aceh, namun dalam di perjalanan sayangnya malah terjun bebas menjadi semacam pilihan politik pragmatis dengan tujuan nan abstrak.
Bak gayung bersambut. Muzakkir Manaf yang seperti kehilangan bahan jual untuk pilkada kali ini langsung menyambutnya dengan gegap gempita. Digengamnya erat Tu Bulqaini dengan Aswajanya seperti sebilah pedang yang siap menerjang siapapun, namun tak cukup tajam untuk menetak sekadar batang janeng.
Ijtihad Tu Bulqaini untuk membawa Dayah melalui Aswaja berlayar di gelanggang sosial-politik-kemasyarakatan tidak diikuti dengan persiapannya membangun perahu yang kuat dan kokoh untuk kemudian menjadi nakhoda sekaligus. Pada tahapan ini, Aswajanya Tu Bulqaini kurang lebih terlihat bak tim relawan suksesi calon kepala daerah yang tidak ada gagasan (sosial) dan nyaris tanpa wacana apa-apa. Lagi-lagi Dayah hanya dijadikan rakit penyelintas sungai oleh perampok dan bandit-bandit yang begitu sampai di seberang ditinggalkan begitu saja atau malah dihancurkan dan tenggelam.
Upaya konkrit yang dilakukan Tu Sop di Bireuen misalnya, untuk membawa kembali Dayah berkibar dalam segala lini sosial mulai menampakkan hasil dengan gagasan Dayah Multimedianya, namun gagasan ini runtuh seketika saat Tu Sop dihadapkan pada kenyataan pupusnya ia meraih kemenangan saat pilkada. Tidak ada kader Dayah yang militan, membumi dan paham betul akan medan sosial menjadi salah satu penyebab kegagalan ini. Umumnya semua kader dayah dididik menjadi guru agama atau guru spritual, bukan sebagai petarung dalam wacana sosial.
Hal paling mendasar yang harus dilakukan menyikapi realita ini adalah Dayah harus berupaya secara maksimal untuk menempatkan diri dalam dunia baru. Dayah harus membuka diri. Berani berhadap-hadapan dengan sesuatu yang selama ini menjadi momoknya. Tanpa meninggalkan sesuatu yang lama dan mengambil setiap kebaikan yang diberikan masa sekarang. Dalam cakupan yang lebih luas, sebagai representasi umat Islam, barangkali Dayah patut mempertimbangkan usulan Hasan Hanafi dengan menjadikan Oksidentalisme sebagai jawaban Orientalisme dalam rangka mengakhiri mitos peradaban luar (barat). Tentu saja ini bukan untuk membangun wacana baru (jadid) tetapi tepatnya wacana renovatif (mutajadid).
Atas dasar kesadaran semacam ini, Secara kebetulan atau tidak, Abu Mudi pada 2003 mewujudkannya dengan mendirikan kampus di tengah sunyi-senyapnya kehidupan Dayah. Sesuatu yang baru, yang pada awal pendiriannya dianggap tabu oleh internal Dayah sendiri. Namun lambat laun gagasan ini menjadikan Mudi menjadi satu-satunya Dayah tradisional yang diperkirakan tetap eksis dan paling siap menghadapi tantangan zaman, terobosan yang oleh Abu Hasanoel Bashri sendiri katakan pada beberapa kesempatan sebagai bagian dari menyiapkan kader yang siap berdakwah, hidup dan menyesuaikan diri dalam setiap lapisan dan corak kehidupan sosial. Sesuatu yang kiranya belum diikuti oleh Dayah-dayah lainnya di Aceh.
Sudah saatnya aktivis Dayah mengubah paradigma berfikir. Sadar diri sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab sosial. Jika ingin membangun, mari kita bangun mulai dari bawah, sejak dari dalam pikiran dan internal sendiri, agar semua cita-cita tadi betul-betul siap ketika dijawantahkan ke dalam sikap politik. Juga supaya jangan selalu jadi perahu orang. Semoga!
Kamis, 02 Maret 2017
Ingat...! Lembaga Dayah Kekuatan Pertahanan Sejak 1892
Penulis BIMBEL TKJ
Diterbitkan 23.43
Tags
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon